Banda Aceh —Sipnews.id Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh di Hotel Ayani, Banda Aceh, Kamis (2/10/2025). Kegiatan ini menghadirkan akademisi, seniman, perwakilan Balai Bahasa, dan berbagai instansi pemerintah untuk membahas strategi pelestarian Bahasa Aceh yang kini menghadapi ancaman kepunahan.
Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, dalam sambutannya menegaskan pentingnya pelestarian Bahasa Aceh sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat. Menurutnya, penelitian BRIN menunjukkan indikasi kemunduran penggunaan Bahasa Aceh, baik di ruang publik maupun dalam lingkungan keluarga.
“FGD ini merupakan bentuk kekhawatiran pemerintah terhadap semakin berkurangnya penggunaan Bahasa Aceh. Karena itu, pemerintah telah mengesahkan Qanun Bahasa Aceh dan menerbitkan Instruksi Gubernur yang mewajibkan penggunaan Bahasa Aceh setiap hari Kamis,” ujar Almuniza.
Moderator FGD, Prof. Harun Ar-rasyid (Universitas Syiah Kuala), menyampaikan bahwa penggunaan Bahasa Aceh di sekolah dan ruang publik semakin menurun. Meski masih cukup kuat di dayah dan balai pengajian, situasi tersebut memerlukan perhatian serius.
FGD kali ini membahas dua isu utama, yaitu antisipasi kepunahan Bahasa Aceh dan implementasi Qanun Bahasa Aceh. Diskusi dibagi ke dalam dua kelompok untuk merumuskan langkah-langkah strategis.
Rektor ISBI Aceh, Prof. Wildan, menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan Qanun Bahasa Aceh, terutama pada Bab VIII yang mengatur 17 poin pengembangan bahasa dan 11 poin pengembangan sastra.
“ISBI telah membuka Program Studi Bahasa Aceh, namun masih menghadapi keterbatasan dosen ahli dan kurikulum. Pelaksanaan Qanun harus diiringi dukungan nyata agar bahasa ini benar-benar berkembang,” ujarnya.
Perwakilan Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Abdullah Hasbullah, menyoroti minimnya penggunaan Bahasa Aceh dalam penyelenggaraan adat dan kegiatan budaya. Ia juga menyoroti masih adanya stigma negatif terhadap penutur Bahasa Aceh.
“Wali Nanggroe akan mendorong agar Bahasa Aceh diajarkan tidak hanya di kampus, tetapi juga di sekolah-sekolah hingga gampong. Bahasa adalah bagian tak terpisahkan dari adat,” katanya.
Perwakilan dari Balai Bahasa Provinsi Aceh, Ibrahami Sembiring, menyatakan bahwa Qanun Bahasa Aceh sejalan dengan program revitalisasi bahasa daerah yang dijalankan oleh Kemendikbudristek melalui program Merdeka Belajar sejak 2022.
Balai Bahasa telah melakukan revitalisasi Bahasa Gayo dan tahun ini melanjutkan ke sejumlah daerah lain. Namun, keterbatasan anggaran membuat beberapa program tertunda.
“Bahasa Aceh belum sepenuhnya terancam punah, tetapi gejala kemundurannya sudah terlihat di rumah tangga. Ini menjadi peringatan dini agar semua pihak bergerak,” tegasnya.
Menutup kegiatan, Kepala Disbudpar Aceh menyampaikan bahwa hasil FGD akan dilaporkan kepada Gubernur Aceh sebagai dasar pengambilan kebijakan, termasuk penguatan regulasi dan anggaran.
“Semoga rekomendasi yang kita hasilkan hari ini menjadi langkah nyata dalam menjaga kelestarian bahasa dan sastra Aceh, sehingga tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang di masa depan,” pungkas Almuniza.
FGD ini diikuti oleh 22 pembahas dari berbagai kalangan dan menjadi bagian dari implementasi Qanun Bahasa Aceh Nomor 10 Tahun 2022. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi strategis untuk memperkuat penggunaan Bahasa Aceh di berbagai sektor, termasuk pendidikan, adat, dan ruang publik. []