China Global Television Network Rilis Film Uygur Xinjiang

Gambar Gravatar

BEIJING, SIPnews.net– China Global Television Network (CGTN) merilis film dokumenter baru: “Beyond the Mountains: Life in Xinjiang”, Rabu, 21 April 2021.

“Tiongkok merilis film dokumenter terbaru tentang Xinjiang masa kini,” demikian China Global Television Network (CGTN) memainkan propaganda mereka tentang Uighur.

Bacaan Lainnya

Film dokumenter ini berdurasi 80 menit dan mengangkat kondisi masa kini di Wilayah Otonom Uygur Xinjiang, Tiongkok Barat Laut. Film dokumenter ini akan membawa audiens untuk menyelami kehidupan lokal di wilayah tersebut dalam empat bagian: “Changing Times”, “Following the Money”, “New Generations”, dan “Man and Nature”.

Di sisi lain, film dokumenter ini menayangkan sejumlah kisah tentang upaya pemerintah dalam membantu warga Xinjiang, pengalaman sejumlah warga yang mengejar cita-citanya, warisan budaya lokal, serta pembangunan dan kehidupan harmonis antara manusia dan alam.

Dengan menampilkan kisah 24 orang yang tinggal di wilayah utara dan selatan Pegunungan Tianshan, serta perubahan sosioekonomi yang terjadi, film ini ingin mematahkan stereotipe dan meluruskan kesalahpahaman yang dimiliki warga di luar wilayah tersebut.

Namun China tidak mudah untuk menipu dunia dengan kisah heroik itu, Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) serentak pada Senin, 22 Maret 2021 lalu mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengakhiri praktik penindasan China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.

“Kami, Menteri Luar Negeri Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat bersatu dalam keprihatinan yang mendalam dan berkelanjutan tentang pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang, China,” kata pernyataan itu seperti dilansir republika.co.id.

Bukti dari pelanggaran HAM tersebut terdiri dari dokumen Pemerintah China, pencitraan satelit, dan saksi mata. Program penindasan ekstensif di China mencakup pembatasan ketat pada kebebasan beragama, penggunaan kerja paksa, penahanan massal di kamp-kamp interniran, sterilisasi paksa, dan penghancuran bersama terhadap warisan Uighur.

“Hari ini, kami telah mengambil tindakan terkoordinasi yang sejalan dengan tindakan Uni Eropa tentang pelanggaran HAM di Xinjiang. Kami bersatu dalam menyerukan agar China mengakhiri praktik represifnya terhadap Muslim Uighur dan kelompok etnis dan agama minoritas lain di Xinjiang,” tambah pernyataan itu.

Mereka menyerukan agar China membebaskan semua warga Uighur yang ditahan sewenang-wenang. Mereka juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, mereka meminta China untuk memberikan akses tanpa hambatan ke Xinjiang kepada penyelidik independen dari PBB, jurnalis, dan diplomat asing.

“Kami akan terus berdiri bersama untuk menyoroti pelanggaran HAM ini. Kami bersatu dan menyerukan keadilan bagi mereka yang menderita di Xinjiang,” ujar pernyataan itu.

Uni Eropa menargetkan empat pejabat senior di Xinjiang. Sanksi tersebut melibatkan pembekuan aset para pejabat dan larangan bagi mereka untuk bepergian di dalam blok tersebut. Warga negara dan perusahaan Eropa tidak diizinkan memberi mereka bantuan keuangan.

Uni Eropa juga membekukan aset Biro Keamanan Umum Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang yang digambarkan sebagai organisasi ekonomi dan paramiliter milik negara. Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab mengatakan langkah-langkah itu adalah bagian dari diplomasi intensif oleh Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan 27 negara Uni Eropa di tengah semakin banyaknya bukti tentang pelanggaran HAM terhadap orang-orang Muslim Uighur.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken mengatakan dalam sebuah pernyataan akan mengambil tindakan lebih lanjut bagi pelanggar HAM.

“Kami akan terus mendukung sekutu kami di seluruh dunia dalam menyerukan agar pelanggaran HAM ini segera berakhir dan keadilan bagi banyak korban,” kata Blinken.

Menanggapi ini, China segera memberikan sanksi kepada sepuluh oknum Eropa dan empat institusi yang dikatakan telah merusak kepentingan China dan menyebarkan kebohongan serta disinformasi jahat. Pihak kementerian luar negeri China menyebut mereka yang disanksi dilarang memasuki daratan China dan Hong Kong.

Dari sepuluh oknum, di antanya adalah seorang sarjana Jerman yang berbasis di AS, Adrian Zenz. Zenz telah mempublikasikan pelecehan terhadap kelompok minoritas di wilayah Tibet dan Xinjiang. China mengatakan perusahaan dan individu telah mengajukan petisi untuk menuntut Zenz. Namun, terkait tindakan hukum yang diberlakukan oleh China, sampai sekarang tidak jelas.

Dilansir Daily Sabah, Selasa (23/3), orang lain yang menjadi sasaran termasuk lima anggota parlemen Eropa, yaitu Reinhard Butikofer, Michael Gahler, Raphael Glucksmann, Ilhan Kyuchyuk, dan Miriam Lexmann. Kementerian tidak mengatakan tindakan apa yang akan diambil terhadap organisasi tersebut.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell menyatakan kekecewaan atas reaksi China dan mengatakan sanksi Uni Eropa menghormati standar tertinggi supremasi hukum.

“China kembali menutup mata. Tindakan ini disesalkan dan tidak dapat diterima. Tidak akan ada perubahan dalam tekad Uni Eropa untuk membela HAM dan menanggapi pelanggaran serius,” kata Borrell. (PR/R/MU)

Tautan: https://www.youtube.com/watch?v=gIoAul77LgE

 

Source : CCTV+

 

Pos terkait