Ghazali Abbas Adan : Apresiasi Hasil Silaturahmi Ulama Aceh, Sementara Malek Mahmud Tetap Nyaman Dalam Kesunyian

Gambar Gravatar
foto Ghazali Abas Adan Mantan Anggota Parlemen RI

Jakarta, SIPNEWS.ID – Ketika akhir-akhir ini di sekitar pusat kekuasaan muncul rupa-rupa narasi yang menghendaki sterilisasi agama (syariat Islam) dalam kegiatan politik, tetapi di Aceh tampil ratusan ulama bertemu dan bersilaturahmi dimana dalam pertemuan dan silaturahmi tersebut para ulama itu membahas terkait paradigma dan persoalan perpolitikan di Aceh yang dinilai sudah terjadi pendegradasian peradaban akibat tidak terintegrasinya  nilai-nilai syariat dalam perilaku kehidupan, termasuk dalam kehidupan dan aktifitas politik.

Adalah al-Mukarram wal Muhtaram Tgk H Muhammad Yusuf bin A Wahan salah seorang ulama yang menginisiasi pertemuan itu menyatakan kegiatan itu murni hanya silaturahmi untuk mempersatukan persepsi ulama Aceh. Dan faktanya benar belaka, tidak ada seorang pimpinan partai politik yang diikutsertakan dalam proses pertemuan itu, hatta Nova Iriansyah kendati saat ini sedang menjabat gubernur Aceh juga tidak ikut serta, karena beliau adalah salah seorang pimpinan partai politik di Aceh.

Bacaan Lainnya

Dari latarbelakang digelar pertemuan ratusan ulama Aceh ini, saya menggarisbawahi ihwal fakta, bahwa di Aceh sudah terjadi pendegradasian peradaban politik akibat tidak terintegrasinya nilai-nilai syariat dalam perilaku kehidupan, termasuk kehidupan dan aktifitas politik itu, padahal Aceh ini legal formal sebagai mana konstitusi negara (UUPA) berlaku syariat Islam secara kaffah. Artinya apapun perilaku, aktifitas dan profesi warga negara muslim di Aceh harus sesuai dengan syariat Islam.

Terlepas dari kewajiban berdasarkan konstitusi negara yang demikian, namun konsekuensi menjadi orang-orang mukmin dan muslim dalam segala ruang dan waktu apapun aktifitas dan profesinya harus sesuai dengan ketentuan Allah yang sudah dikodifikasi dalam syariat Islam. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-firman-Nya. Antara lain; “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”.(Quran, Al-Baqarah, ayat 208). “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan (aktifitas dan profesi) mereka. Dan siapa mendurhaka (membangkang) Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia sudah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. (Quran, Al-Ahzaab, ayat 36).

Betapa ayat Allah ini amat jelas teks dan doktrinnya, dan hanya manusia ediot dan/atau hatinya sudah beku yang tidak dapat memahami dan melaksanakannya. Dengan demikian jelas belaka setiap mukmin dan muslim yang tidak ediot dan hatinya sehat, maka dia pasti memahami dan melaksanakan ketentuan Allah dan Rasul-Nya ketika melakoni berbagai aktifitas kehidupan berkaitan dengan berbagai profesinya, termasuk aktifitas dan profesi di bidang politik. Konsekuensi dari teks dan doktrin ayat Allah tersebut juga terikat bagi  orang-orang mukmin dan muslim yang hidup dan tinggal dalam negara bangsa Indonesia, wabil khusus orang-orang mukmin dan muslim di Nanggroe Aceh, karena selain sudah merupkan doktrin aqidah, juga perintah konstitusi negara untuk melakukan berbagai aktifitas dan profesinya sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya (syariat Islam) secara kaffah itu.

Kembali kepada fenomena terjadi pendegradasian peradaban akibat tidak terintegrasinya nilai-nilai syariat Islam perilaku kehidupan, termasuk dalam perilku dan aktifitas politik di Aceh itu, kendati sadar akan keterbatasan ilmu, saya teramat sering menyampaikannya, baik melalui melalui lisan dalam ceramah-ceramah bebas, khutbah jumat, maupun tulisan di media massa, bahwa setidaknya ada 5 (lima) “P” yang haram dilalakukan  dalam perilaku politik, wabil khusus di Aceh sebagai Nanggroe Syariat, ialah;

Pertama, PEUREULOH, yakni merusak alat peraga kampanye (APK) kontestan dalam kontestasi politik, termasuk juga merusak kantor dan kendaraan.

Kedua, PEUYO, yakni mempertontonkan dan menebar intimidasi, brutalitas dan teror, baik dalam wujud ucapan maupun tindakan di tengah masyarakat dalam upaya memburu dan mempertahankan kekuasaan.

Ketiga, PEUNGEUT, yakni dengan berbagai cara secara vulgar, arogan dan brutal, atau cara halus dan licik, dengan terencana dan sistematis mamanipulasi dan/atau melakukan pengelembungan suara, sejak perhitungan awal di TPS sampai finalisasi.

Keempat, PENG, yakni dengan rupa-rupa modus operandi, baik dalam bentuk lembaran uang, maupun wujud lain atas nama aneka kepentingan entitas sasaran, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi menebar kepada masyarakat dengan motivasi, niscaya mendapat dukungan dan suara dalam kontestasi politik.

Kelima, POH-MUPOH, yakni ketika memburu dan mempertahankan kekuasaan yang bermuara kepada peningkatan status sosial dan ekonomi, tidak segan-segan dan merasa tidak merasa berdosa menumpah darah dan/atau bahkan menghilangkan nyawa sesama.

Setidaknya lima “P” ini dapat dikategori dan dipastikan sebagai perilaku dan praktik politik haram sekaligus tidak beradab. Karena disamping melanggar aturan kontemporer berkaitan dengan politik, juga cukup banyak nash Quran dan Hadis dijadikan sebagai dalil dimana dengan tegas melarang dan mengharamkan perilaku dan praktik lima “P” tersebut. Konsekuensi ikutannya, gaji dan semua penghasilan dengan berbagai nomenklaturnya yang didapatkan dari jabatan buah perilaku dan praktik politik haram ini adalah juga haram. Dan Rasulullah Muhammad saw mengingatkan; “Semua daging yang tumbuh dari makanan haram, maka api neraka adalah paling berhak baginya” (Hadis riwayat Imam Ahmad).

Betapa, fenomena perilaku dan praktik politik haram dengan konsekuensi demikian, keyakinan saya, insya Allah dapat dihentikan melalui 11 (sebelas ) rekomendasi hasil silaturahmi ulama Aceh (SUA) (11 November 2021), dengan mutiara saripati yang terkandung di dalamnya. Ialah menjadikan syariat Islam kaffah sebagai pedoman dan terintegrasi dalam perilaku di semua aspek kehidupan. Memiliki integritas dalam rangka al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar dalam politik dan pemerintahan, serta berbagai aspek hidup dan kehidupan masyarakat luas. Karenanya saya memberi penghormatan dan apresiasi kepada hasil SUA itu. Semoga semua pihak, wabil khusus pimpinan partai politik dan aktifis politik di Aceh dapat melaksanakannya.

Disisi lain mengikuti judul pernyataan saya dalam tulisan ini, saya tegaskan, sesungguhnya narasi saya ini bukanlah bentuk pembenturan, tetapi adalah persandingan. Ialah di satu sudut pandang kiprah para ulama Aceh yang bukan pejabat publik serta aktifitas al-Mukarramun wal Muhtaramun ini anggarannya tidak disediakan dalam APBA yang begitu peduli dan menunjukkan respon nyata terhadap kondisi Aceh akhir-akhir ini, dan di sudut pandang lain  kiprah dan kepedulian Malek Mahmud dengan jabatan mentereng, panggilan dan gelar selangit dengan rupa-rupa fasilitas mewah serta anggaran puluhan miliar rupiah setiap tahun yang bersumber dari uang rakyat (APBA), tapi dari waktu ke waktu tenang-tenang saja, kiprah dan aktifitasnya  sebagai pejabat publik dengan tupoksi untuk kamaslahatan dan kesejaheraan publik dalam bingkai syariat Islam, al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar tetap sunyi senyap.

Sebagaimana diberitakan media massa (20 Oktober, 2021) kejadian terakhir di Aceh dalam satu hari terjadi di dua lokasi letusan senjata, yakni pemberondong kantor polisi di Aceh Barat dan penembakan di Pidie yang menewaskan DANTIM BAIS Pidie Kapten Abdul Majid SH, MH tidak terdengar suara Makek Mahmud. Kecuali dalam satu kesempatan keluar dari “pertapaan” di meuligoenya sehingga dapat tampil di depan publik usai  satu acara pertemuan sekaligus mungkin juga “setor muka”, berkenaan dengan kedatangan Bapak Panglima TNI dan Bapak Kapolri di Banda Aceh, mendapat pertanyaan wartawan (Selasa, 02 Novomber 2021). Jawabannya terkesan ringan dan normatif belaka, “masyarakat tetap tenang dan jangan takut. Masalah ini saya serahkan kepada pihak kepolisian”. Dari jawaban Malek Mahmud ini juga terkesan tidak ada penyesalan dan keprihatinan, alih-alih mengutuk tindakan biadab yang menghilangkan nyawa hamba Allah, siapapun dia dan apapun statusnya. Apalagi mengandung  nasehat/tawshiyah kepada rakyat dan semua pihak untuk memelihara keamanan, perdamaian dan persatuan di Aceh. Padahal kalau dia sadar dan ada rasa tanggungjawab, inilah diantara tupoksinya apabila dia merasa diri sebagai Wali Nanggroe Aceh sebagaimana tercantum dalam UUPA. Bahkan ketika disinggung penembakan di Pidie itu menggunakan senjata peninggalan masa komplik, dia tidak menjawab dan buru-buru memasuki mobil mewahnya.

Demikian pula sekaitan dengan even pertemuan dan silaturrahmi ratusan ulama Aceh yang menghasilkan 11 (sebelas) mutiara rekomendasi SUA itu, untuk kemaslahatan hidup dan kehidupan rakyat yang harus diterapkan di Aceh, terutama oleh pimpinan partai politik serta para aktifis politik. Tidak diketahui dan tidak ada pemberitaan apakah Malek Muhmud ikut hadir dalam even yang sangat penting dan mulia itu, setidaknya dalam acara pembukaan dan/atau penutupan halaqah pertemuan dan silaturahmi ratusan al-Mukarramin dan wal-Muhtaramin ulama Aceh itu. Juga tidak terdengar/terbaca, sunyi senyap di media massa respon, apresiasi dan dukungan Malek Mahmud terhadap hasil SUA Aceh yang sarat dengan prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman dalam melakoni aktifitas politik yang sesuai dengan syariat Islam di Aceh. Wallaahu ‘alamu bish-shawaab. (Red)

Pos terkait