Jika Perdamaian Dikhianati, Siapkah Kaum Muda Angkat Senjata Kembali?

Juru Bicara Laskar Panglima Nanggroe, Muhammad Kahlil Gibran. Foto: Sipnews.id

Laskar Panglima Nanggroe Suarakan Referendum

BANDA ACEH – Ketegangan akibat polemik empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memasuki babak baru.

Bacaan Lainnya

Setelah kritik tajam dari kalangan intelektual dan keturunan Sultan Aceh, kini suara keras muncul dari kalangan akar rumput perjuangan.

Juru Bicara Laskar Panglima Nanggroe, Muhammad Kahli Gibran, mengingatkan bahwa keputusan sepihak pemerintah pusat melalui SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terang-terangan terhadap fondasi perdamaian Aceh yang dibangun melalui darah dan diplomasi panjang.

“Kalau perdamaian ini dikhianati, pertanyaannya: apakah kaum muda Aceh siap kembali bergrilya? Apakah kita sudah siap referendum? Atau kita hanya akan diam saat tanah leluhur dicabik?” seru Kahli Gibran, Minggu (15/06/2025), dengan nada penuh amarah dan keteguhan.

Pernyataan ini mencuat di tengah kecemasan publik Aceh atas alih status Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang ke wilayah administrasi Sumatera Utara.

Gibran menyebut, kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen pusat terhadap kesepakatan damai Aceh.

“Aceh ini bukan anak kecil yang bisa digertak dengan SK. Kita punya dasar hukum, kita punya sejarah, dan kita punya hak untuk menentukan masa depan jika pusat lupa diri,” ujarnya tajam.

Ia menegaskan, Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) 2005 yang menjadi pilar perdamaian Aceh tidak hanya bersifat simbolik.

MoU itu telah diikat dalam konstitusi nasional melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“Pasal 1.1 MoU menyebutkan bahwa Aceh akan menjalankan pemerintahan sendiri secara demokratis dan adil. Lalu Pasal 1.3 menegaskan wilayah Aceh meliputi wilayah yang ada dalam peta tahun 1956. Ini bukan tafsir, ini teks hukum,” tegasnya.

Lebih lanjut, Gibran menuding pusat bermain-main dengan bara api. Ia menyebut pengabaian terhadap ketentuan wilayah sebagaimana dimandatkan MoU Helsinki sama saja menampar wajah rakyat Aceh yang telah menanggalkan senjata demi perdamaian.

“Jangan paksa rakyat Aceh untuk kembali ke jalan lama. Jangan kira generasi hari ini tak punya nyali seperti generasi Gerakan Aceh Merdeka dulu,” katanya, mengacu pada sejarah perlawanan GAM sejak 1976.

Menurutnya, generasi muda Aceh kini perlu berefleksi: apakah mereka hanya akan menjadi konsumen kebijakan pusat yang timpang, atau menjadi penjaga martabat tanah kelahiran.

“Kalau MoU dijadikan lelucon, jika UUPA diinjak-injak, referendum bisa menjadi keniscayaan. Ini bukan ancaman, ini seruan moral,” tegas Gibran, yang juga aktif dalam jaringan mahasiswa eks kombatan.

Ia menilai Presiden Prabowo Subianto harus cermat sebelum mengambil keputusan akhir terkait status empat pulau tersebut.

Jika Presiden salah langkah, kata Gibran, yang pecah bukan hanya hubungan antarprovinsi, melainkan retakan kepercayaan Aceh terhadap Republik Indonesia.

“Jangan mengira semua bisa diselesaikan dengan instruksi dari Jakarta. Di Aceh, tanah adalah harga diri. Kami tidak akan tunduk pada birokrasi yang korup dan pongah,” pungkasnya.

MoU Helsinki dan UUPA: Dasar Kuat Aceh dalam Sengketa Wilayah

Secara hukum, Aceh memiliki dasar yang sangat kuat dalam mempertahankan klaim atas empat pulau tersebut. Berikut beberapa poin penting:

MoU Helsinki Pasal 1.3: “Wilayah Aceh mencakup wilayah yang mencakup peta Aceh tahun 1956.” Ini menjadikan peta historis sebagai rujukan sah, bukan tafsir administratif baru.

UUPA Pasal 4 dan 5: Menetapkan bahwa kewenangan Aceh mencakup pengelolaan wilayah administratif sesuai dengan batas historis dan memberikan ruang bagi Pemerintah Aceh untuk mengatur sumber daya secara mandiri.

Pasal 235 UUPA: Mengatur bahwa perubahan batas wilayah Aceh hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama antara Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, bukan keputusan sepihak dari pusat.

Dalam konteks ini, SK Mendagri dinilai bertentangan dengan prinsip desentralisasi asimetris yang dijanjikan dalam UUPA, serta melanggar semangat rekonsiliasi yang dibangun dalam MoU Helsinki.

Dari Aceh Singkil hingga Helsinki: Menjaga Damai atau Menuju Referendum?

Polemik empat pulau ini jelas bukan urusan sepele. Ia menyentuh simpul paling sensitif dalam tubuh otonomi Aceh: kedaulatan atas wilayah.

Dan jika negara gagal memahami bahasa Aceh yang diplomatis, jangan heran jika ia mulai kembali berbicara dengan bahasa perlawanan.

Kini, bola panas ada di tangan Presiden Prabowo. Namun suara dari Tanah Rencong jelas: perdamaian bukan berarti menyerah, dan jika negeri ini buta pada keadilan, maka sejarah Aceh akan menulis ulang jalannya sendiri.

Pos terkait