SIPNEWS.ID|BANDA ACEH – Polemik penetapan status empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, kembali memantik sorotan publik.
Kali ini, kritik datang dari salah satu tokoh keturunan Kesultanan Aceh, Tuanku Warul Waliddin, S.E., Ak., yang menilai Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 sebagai bentuk penyimpangan prinsip tata kelola pemerintahan yang akuntabel.
“Ini bukan sekadar silang klaim wilayah administratif. Ini soal integritas dalam pengelolaan negara,” ujar Tuanku Warul kepada media, Sabtu (14/06/2025).
Ia menekankan bahwa negara tidak bisa seenaknya menegasikan dokumen hukum dan sejarah yang menjadi landasan kedaulatan wilayah.
Sebagai seorang akuntan negara, Tuanku Warul mengurai masalah ini melalui perspektif tata kelola aset publik.
Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis akrual, tegasnya, seluruh aset tetap pemerintah daerah harus dicatat berdasarkan dokumen yang sah dan berkekuatan hukum.
Menurutnya, status empat pulau yang selama ini tercatat sebagai milik Kabupaten Aceh Singkil tak bisa begitu saja dipindahkan ke Sumatera Utara melalui sebuah keputusan menteri.
“Kalau ini dibiarkan, laporan keuangan Aceh Singkil bisa menjadi tidak wajar. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga berisiko menggoyang opini audit BPK. Negara tidak boleh menciptakan kekacauan administrasi seperti ini,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dampak sistemik dari keputusan tersebut terhadap perencanaan fiskal daerah.
Dalam sistem anggaran berbasis kinerja, wilayah tanpa kejelasan hukum tak bisa dimasukkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
“Anggaran tidak bisa turun. Program pembangunan mandek. Potensi Pendapatan Asli Daerah dari sektor perikanan, pariwisata, hingga sumber daya alam bisa hilang begitu saja,” paparnya.
Tuanku Warul juga menyitir pernyataan mantan Wapres Jusuf Kalla yang menyebut bahwa dalam persoalan tapal batas, Undang-Undang lebih tinggi derajatnya daripada keputusan menteri. Ia menegaskan, MoU Helsinki dan peta 1956 harus dijadikan rujukan utama.
“Keputusan Mendagri semestinya tunduk pada MoU Helsinki yang memiliki kekuatan hukum sebagai hasil perjanjian damai. Kalau ini ditabrak, sama saja membuka luka lama,” katanya.
Ia pun menyoroti lemahnya koordinasi dan sinkronisasi data geospasial antara pemerintah pusat dan daerah.
Ketidaksesuaian data antara Kemendagri, BIG, dan pemerintah daerah, menurutnya, memperlihatkan masih buruknya sistem informasi wilayah yang menjadi dasar pengambilan keputusan negara.
“Kita sedang bicara tentang sistem. Ketika data wilayah tumpang tindih, maka keputusan yang lahir pun cacat prosedur. Ini alarm bagi tata kelola pemerintahan Indonesia,” katanya lagi.
Dalam aspek hukum, penetapan batas wilayah kabupaten seharusnya melalui mekanisme usulan dan verifikasi bersama sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Mengabaikan proses tersebut, kata Warul, justru membuka ruang konflik administratif dan sosial.
“Apalagi ini Aceh. Setiap sentuhan terhadap wilayahnya menyentuh memori kolektif perjuangan dan perdamaian. Pemerintah pusat harus cermat, bukan serampangan,” imbuhnya.
Tuanku Warul pun mengamini pendapat akademisi Aceh, Dr. Iswadi, yang menyatakan bahwa peta 1956 merupakan dasar historis dan legal yang wajib dihormati oleh semua pihak, termasuk pemerintah pusat.
Sebagai jalan keluar, ia menawarkan empat rekomendasi strategis:
1. Sinkronisasi data geospasial dan administratif melalui sistem peta tematik wilayah nasional.
2. Mencatat aset bersyarat (contingent asset) dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) sebagai bentuk pengakuan administratif atas wilayah yang disengketakan.
3. Mendorong mediasi administratif antarprovinsi guna mencegah konflik berkepanjangan.
4. Memperkuat peran Inspektorat dan BPKP dalam mengawasi pengelolaan aset negara dan wilayah.
Menurutnya, akar masalah bukan pada Aceh atau Sumut, tetapi pada sikap inkonsisten pemerintah pusat dalam menghormati otonomi khusus yang dijamin konstitusi.
“Jangan sampai ego sektoral birokrasi pusat merusak tatanan yang telah dibangun melalui darah dan diplomasi panjang di Helsinki,” tutupnya.
Di tengah riuhnya respons publik, Presiden Prabowo Subianto disebut telah turun tangan langsung.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa Presiden mengambil alih persoalan ini dan akan mengumumkan keputusannya dalam waktu dekat.
Sementara itu, Pemerintah Aceh melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Otda, Syakir, menegaskan bahwa proses pengalihan pulau sudah dilakukan jauh sebelum Gubernur Mualem dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat. Namun, keputusan akhir tetap menunggu sikap Presiden.
Polemik empat pulau di perbatasan Aceh-Sumut tak lagi sekadar soal peta atau klaim administratif.
Ia telah menjelma menjadi barometer ketegasan negara dalam menjunjung hukum, menjaga janji damai, dan membangun tata kelola yang berkeadilan.