BANDA ACEH – Ketua Peusaba Aceh, Mawardi Usman mengaku geram dengan ancaman untuk menjadikan Gampong Pande seperti kawasan Wadas Purworejo. Karena Masyarakat Gampong Pande telah tegas menolak proyek IPAL yang akan memusnahkan makam raja dan ulama Kesultanan Aceh Darussalam. Langkah provokasi dan ancaman bukan zamannya lagi dilakukan. Pemerintah Pusat dan Pemko Banda Aceh harus ingat bahwa Aceh berbeda dengan wilayah lain. Bangsa Aceh tidak pernah takut dengan ancaman siapapun.
“Jangan coba-coba mengancam orang Aceh, apalagi Bangsa Aceh siap mati mempertahankan Makam Raja dan Ulama di Gampong Pande,” kata Mawardi melalui pesan whatsapp mesenger, Minggu (13/02/2022).
Sejak dulu, lanjut Mawardi, Gampong Pande, Gampong Jawa, Kandang, Keudah dan Merduati dikenal sebagai Gampong Sultan sejak era kesultanan. Mengancam Masyarakat Gampong Pande berarti sama saja mengancam Bangsa Aceh. Maka akan ada perlawanan rakyat Aceh secara terbuka terhadap kejahatan dan persengkongkolan jahat, yang berniat memusnahkan makam raja dan ulama.
Peusaba juga mengecam langkah Pemko Banda Aceh yang menyewa orang untuk menjelek-jelekkan Cut Putri Cucu Sultan Aceh. Tujuan utama mereka terbentuknya narasi, supaya publik ragu-ragu terhadap cucu Sultan Aceh pejuang pembela rakyat, agar pemerintah dapat melanjutkan proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande.
Ketua Peusaba meminta Pemko Banda Aceh dan pendukungnya banyak belajar sejarah agama dan terutama akhlak, jangan mengandalkan berita dari seorang yang mengaku Tuanku, yang mengaku sebagai Keturunan Sultan Aceh, padahal tidak terkenal di dalam publik Aceh.
“Ada aturan sejak masa kuno hingga kini yang difahami di Aceh, bahwa keturunan Sultan Aceh adalah orang yang pemberani melawan kedzaliman. Makanya jika ada yang mengaku Keturunan Sultan menulis nama Tuanku, tapi kemudian mendukung proyek IPAL di Gampong Pande, pastilah Keturunan Raja Palsu alias KW 87,” tukas Mawardi keras.
Masih kata Mawardi, semenjak dulu kaum Twk menuliskan Twk artinya Tuwanku dari Keturunan Sultan Aceh, bukan Tuanku. Kemudian tampaknya ada perubahan dan sampai sekarang menuliskan Twk bukan Tuanku.
“Memang ada tulisan Tuanku, dan itu bukan gelar Aceh, namun dari Padang untuk para alim ulama dan guru. Pada masa penjajahan Belanda, ada beberapa guru dari Padang didatangkan oleh Belanda ke Aceh memang orang Tuanku, yang mengajar di sekolah modern Aceh waktu itu. Para Tuanku dari Padang yang mengajar di Aceh umumnya cerdas-cerdas dan banyak menghasilkan murid. Pada saat itu sejarah Aceh mulai terkikis berganti dengan kurikulum Belanda,” bebernya.
Lanjut dia, Tahun 1903 setelah Sultan Muhammad Dawod Syah menyerah kepada Belanda, maka penulisan Tuwanku dengan Tuanku dibedakan artinya Tuwanku atau disingkat Twk untuk keturunan Raja, sedangkan Tuanku untuk keturunan Guru atau Tokoh dari Minang.
“Makanya para keturunan Raja Aceh sejak dulu menuliskan Twk atau Tuwanku Keturunan Raja Aceh. Berbeda dengan keturunan tokoh ulama dan guru dari Minangkabau menuliskan Tuanku,” terangnya lagi.
“Makin lama gelar Tuanku makin bergeser dan mereka mengaku keturunan Sultan Aceh. Padahal setelah perang, Keturunan Sultan Aceh banyak yang syahid dan dibuang keluar Aceh. Makanya mereka bebas mengaku ke publik, sebab Keturunan Raja Aceh yang asli banyak yang syahid dan dibuang Belanda,” imbuhnya.
Ketua Peusaba meminta Tuanku yang mengaku diri Keturunan Sultan agar segera sadar diri. Bagaimanapun nenek moyangnya dulu banyak mencerdaskan orang Aceh dan dihormati di Aceh. Jangan mengaku Keturunan Sultan namun melupakan asal usul nenek moyang, dan malah mendukung proyek pemusnahan sejarah Islam di Aceh!
“Jika para keturunan mereka, kami yakin mereka orang-orang yang saat ini berdiri di saf terdepan saat indatu bangsa ini terancam akan hinaan kaum terkutuk yang ingin membangun IPAL di dalam komplek pemakamam ulama dan raja,” sebutnya.
Peusaba meminta publik Aceh tidak usah terpengaruh dengan berita Tuanku yang mengaku Keturunan Sultan itu yang mengambil nasab dari internet. Serta segala hoax yang disebarkan oleh Pemko Banda Aceh dan antek-antek Kaphe Belanda. Dan fokus dengan perlindungan situs sejarah di Gampong Pande. Ini menunjukkan betapa gigihnya pihak Pemko Banda Aceh menghancurkan situs sejarah Islam, sampai menghalalkan segala cara agar proyek IPAL di Gampong Pande dapat terlaksana.
“Semua Rakyat Aceh wajib bersatu padu menyelamatkan makam raja dan ulama sebagai Titik Nol Kesultanan Aceh Darussalam!” ajak Mawardi.[*/Red]