Kejahatan Perang Belanda Di Aceh

Gambar Gravatar

Banda Aceh, SIPNEWS ID – Kejahatan Perang Belanda di Aceh
75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu Belanda, terutama oleh Korps Marsose, selama Perang Aceh.

“Belanda mengirim pasukan Marsose ke Aceh, menewaskan sekitar 75.000 rakyat Aceh atau 15 persen penduduk wilayah itu. Tindakan kekerasan itu diambil untuk mempertahankan stabilitas politik dan keamanan di wilayah Hindia Belanda,” tulis Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009) dan Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004).

Bacaan Lainnya

Jumlah korban dalam Perang Aceh (1873-1904) ini melebihi jumlah korban pasukan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, yang disebut-sebut sekitar 40.000 orang.

Angka yang dipakai Asvi ini persis sebagaimana ditulis sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam artikel “A Genealogy of Violence” dalam Roots of Violence in Indonesia (2002) suntingan Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad. Nordholt memberi contoh bahwa 75.000 orang Aceh terbunuh oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda dalam rangka usaha Belanda menguasai Aceh. Sebagian dari mereka terbunuh oleh satuan khusus bernama Marsose.

“Ekspansi kolonial menciptakan kekerasan oleh negara yang hanya sedikit diakui dalam sejarah Belanda,” tulis Nordholt.

Taksirannya, antara 1871 hingga 1910, sekitar 125.000 orang terbunuh. Angka ini melebihi jumlah penduduk kota Semarang pada 1910. Kira-kira dalam waktu hampir 40 tahun, militer Belanda telah membunuh orang satu kota. Suatu prestasi gila yang mendahului kegilaan Kapten Westerling di Sulawesi Selatan pada masa revolusi.

Sebelum Westerling Ditimpuk Sepatu
Westerling Memberontak Bermodalkan Duit Para Pengusaha.

Selama aksi-aksi tentara Belanda di Aceh, pembantaian di Gayo Alas pada 1904 sudah jadi sorotan. Di situ pula Marsose beraksi.

Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen adalah komandan dalam ekspedisi pembantaian tersebut. Perwira kelahiran 23 Maret 1863 di Makassar dan tutup usia pada 22 Februari 1930 di Den Haag ini aslinya bukan infanteri alias pasukan jalan kaki. Berdasarkan Encyclopædie van Nederlandsch-Indië 6 (1932), yang disusun oleh Jozias Paulus, G.C.E. van Daleen semula belajar sebagai kadet persenjataan artileri (pasukan meriam) di akademi militer. Perang Aceh membuatnya harus memimpin pasukan Marsose.

Dari sekian banyak perwira KNIL yang bertugas di Aceh, van Daalen adalah perwira yang paham bahasa Aceh. Ayahnya, yang bernama sama dengannya, adalah Kapten KNIL yang pernah dinas di Aceh.

Dalam ekspedisi ke Gayo, menurut Paul van ‘t Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985), van Daalen membawahi 10 brigade Marsose—sama dengan 200 orang serdadu bawahan—dengan 12 perwira dan diiringi 450 straapan (orang hukuman yang dijadikan kuli).

Ekspedisi itu berakhir pada 24 Juni 1904. Skala korbannya: 2.902 orang Aceh terbunuh, dan 1.159 di antaranya adalah perempuan. Sementara di pihak van Daalen ada 26 orang terbunuh.

Soal orang-orang Gayo yang disatroni Marsose, van ‘t Veer menulis: “Mereka menyambut Marsose dengan mengucapkan ayat-ayat suci dan mengenakan pakaian putih, seakan melambangkan bahwa mereka telah bersiap untuk mati”.

Di Kuta Reh, seperti disebut dalam laporan perwira bernama Kempees, van ‘t Veer menulis, “Sebelum serangan dimulai, terdengar bagaimana orang berdoa dan berzikir. Kemudian mulailah pembantaian”.

Paul van ‘t Veer tak percaya bahwa van Daalen mengaku mau bertanggung jawab dalam suratnya kepada JB van Heutsz, gubernur militer Aceh sejak 1899, yang lantas jadi gubernur Hindia Belanda setelah menaklukkan Aceh (1904–1909).

Tapi masalahnya, dalam otak Van Daalen, kekerasan serta kekejaman adalah sebuah sistem. Bagi van Daalen, kekerasan karena kecerobohan, main gampangan, atau sadisme sangatlah dibencinya.

“Kekejaman yang ‘tidak disengaja’, baginya, menjadi kejahatan yang paling besar,” tulis van ‘t Veer. Kasarannya, van Daalen memaklumi kekerasan dan kekejaman selama itu bagian dari sistem.

“Pembunuhan besar-besaran yang tiada taranya. Foto-fotonya enam puluh tahun sesudah peristiwa tak mungkin dilihat tanpa merasa ngeri. […] Van Daalen, yang sama sekali tidak merasa malu atas tindakannya, justru bangga atas keberhasilannya,” tulis van t’Veer dalam Perang Aceh. (Sumber : Tirto.id)

Pos terkait