Krisis Air di Aceh Besar Terus Berulang, Perempuan di Aceh Besar Meminta Pemerintah Kabupaten Melakukan Tindakan Mengatasi Krisis Air

Gambar Gravatar

Banda Aceh, SIPNEWS.ID – Kemarau berkepanjangan kembali dirasakan masyarakat Aceh Besar. Sejak Desember 2023 hingga Mei 2024, kemarau yang berkepanjangan telah mengakibatkan kekeringan disejumlah wilayah di Aceh, termasuk di Aceh Besar. Krisis air yang dialami masyarakat Aceh Besar, bukan hanya terjadi saat ini, kejadian krisis air ini terus berulang setiap tahunnya. Kemarau berkepanjangan yang berujung pada krisis air sejak 2017 semakin sering terjadi, dimana ditahun 2024 ini kembali terjadi dialami warga di 23 gampong/desa di Kab. Aceh Besar, termasuk di Kecamatan LhokNga.

Krisis air yang terjadi sering sekali dikaitkan dengan krisis iklim yang terjadi. Namun, krisis air di LhokNga tidak hanya karena krisis iklim, tetapi juga karena sumber mata air dan Kawasan tangkapan air di Aceh Besar juga hancur akibat aktivitas pertambangan.

Bacaan Lainnya

Bahwa air merupakan kebutuhan dasar dan sangat vital bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Tetapi kita juga menyadari bahwa ketersediaan air di muka bumi semakin menipis oleh fenomena pemanasan global dan berbagai aktivitas industri ekstraktif yang rakus air telah memperparah kondisi kekeringan dan semakin keterbatasan ketersediaan air untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Desa Lambaro Seubun Kec. Lhoknga adalah salah satu daerah yang saat ini mengalami krisis air. Selama ini Masyarakat Lambaro Seubun mengandalkan sumur pribadi karena tidak adanya sumber mata air lain di daerah tersebut dan juga tidak ada aliran PDAM. Tetapi musim kemarau yang berkepanjangan ini membuat sumur-sumur yang menjadi harapan satu-satunya warga desa Lambaro Seubun pun mengering.

“Jadi ketika sumur mengering, kami terpaksa mengangkut air dari desa tetangga dan terkadang harus membeli air” ujar Eli Susanti, salah seorang warga desa Lambaro Seubun.

Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini membuat beban yang sangat berlebih dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan dan harus mengeluarkan lagi uang untuk pemenuhan kebutuhan air di rumah tangga.

Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Naga Umbang Kec. Lhoknga,yang telah mengalami krisis air sejak lama. Padahal wilayah Naga Umbang masuk kedalam wilayah yang memiliki sumber air yaitu Pucok Krueng, tetapi tidak adanya Upaya untuk menjadikannya sebagai sumber air warga. Dari 135 KK, hanya sebagian warga yang memiliki sumur di rumahnya, karena sebagian sumur telah amblas akibat aktivitas perusahaan sehingga air sumur menjadi berminyak dan berwarna kuning serta mengeluarkan bau yang menyengat. Tentu saja air pada sumur tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh warga.

Ayu, salah seorang warga Desa Naga Umbang mengaku sudah sangat lelah menghadapi situasi krisis air “sudah sangat lelah dengan kondisi ini, belum lagi harus mengangkut air yang terkadang membuat badan saya sakit. Kebutuhan ekonomi juga semakin meningkat karena pengeluaran uang untuk kebutuhan air.

“Di sisi lain, ini juga menjadi beban bagi saya sebagai Perempuan karena harus memenuhi kebutuhan air untuk memasak, mencuci dan mandi yang seharusnya waktu tersebut dapat saya gunakan untuk beristirahat.”

Sebenarnya di Desa Naga Umbang sudah ada aliran PDAM, tetapi Ayu menyatakan bahwa air hanya mengalir Ketika musim hujan saja jadi pada saat kemarau seperti ini, tidak ada aliran air. Berbeda dengan kondisi di Desa Naga Umbang, warga Desa Lambaro Seubun memang tidak memiliki aliran dari PDAM. Eli Susanti mengatakan bahwa sudah ada bantuan air yang datang ke Desa Lambaro Seubun untuk menyalurkan air, tetapi bantuan air tersebut tidak mencangkup kebutuhan warga terhadap kebutuhan air.

Rahmil Izzati, Ketua BEK Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh menanggapi kondisi krisis air ini dengan mengatakan bahwa air merupakan hak dasar warga negara, sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak warganya. Bagi perempuan, air memiliki makna yang berbeda karena kebutuhan untuk biologis dan kerja-kerja domestic yang masih dilekatkan menjadi tanggung jawab perempuan.

“Namun saat ini masih banyak Masyarakat yang mengalami krisis air dan tidak dapat mengakses air bersih untuk kebutuhan mereka terutama yang dialami oleh Perempuan di Desa Lambaro Seubun dan Desa Naga Umbang Kec. Lhoknga. Perempuan dengan kesehariannya yang menempatkan peran gendernya sehingga sering bersinggungan dengan air seperti memasak, mencuci maupun memandikan anak semakin menempatkan ketidakadilan gender bagi Perempuan dengan situasi krisis air yang dialami.

Krisis air juga membuat perempuan mengalami beban berlapis, karena harus berpikir dan bekerja lebih berat ataupun  menyiasati pengelolaan uang rumah tangga untuk membeli air, demi memastikan ketersediaannya untuk kebutuhan keluarga dan rumah tangga.

Lebih jauh lagi, krisis air yang mengakibatkan kehancuran dan hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, juga akan berdampak secara berlapis bagi perempuan. Perempuan seringkali harus beralih profesi, karena lahan pertaniannya tidak lagi bisa ditanam untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga.” tutupnya.

Persoalan krisis air dan kekeringan selalu dialami oleh Masyarakat Lhoknga dari tahun ke tahun hingga saat ini belum mendapatkan solusi atas persoalan tersebut. Solusi yang ditawarkan masih bersifat responsive dan sesaat, tetapi belum sebuah Tindakan yang sistematis, misalnya dengan menghentikan aktivitas industri yang merusak Kawasan sumber air dan membatasi penggunaan air untuk kebutuhan industri skala besar.

Qanun Pengelolaan SUmber Daya Air harusnya juga dijalankan untuk mengatasi krisis air di Aceh Besar. Untuk itu Solidaritas Perempuan Aceh meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Besar menjadikan ini sebagai perhatian khusus dan segera turun tangan untuk menuntaskan persoalan yang dialami oleh Masyarakat terutama Perempuan. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar harus membangun sebuah kebijakan dan aksi-aksi yang dapat mencegah terjadinya krisis air di Aceh Besar.(R)

Pos terkait