BANDA ACEH| Sipnews.id – Mantan Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) Universitas Syiah Kuala (USK), Amru Hidayat ST.P, mengkritik keras ketimpangan pengelolaan sumber daya energi di Aceh.
Ia menyoroti bagaimana Pertamina dan kebijakan energi nasional masih menempatkan Aceh sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai pemain utama dalam pengelolaan kekayaannya sendiri.
Menurut Amru, konflik antara Aceh dan Jakarta soal sumber daya energi bukan sekadar soal sejarah panjang eksploitasi minyak dan gas, tetapi juga dampak dari regulasi yang terus mengekang kewenangan daerah.
Ia menilai bahwa sejak era kolonial hingga otonomi khusus, aturan yang dibuat pemerintah pusat lebih berfungsi sebagai alat kontrol ketimbang pemberdayaan daerah kaya sumber daya seperti Aceh.
“Sejak zaman Belanda hingga sekarang, Aceh terus dijarah. Bedanya, kalau dulu yang mengeksploitasi adalah kolonial, sekarang yang melakukannya adalah bangsa sendiri. Aceh ini kaya, tapi rakyatnya tetap miskin. Lalu, siapa yang paling diuntungkan?” kata Amru dalam pernyataannya, Jumat (14/03/2025).
Aceh: Kaya Sumber Daya, Miskin Kesejahteraan
Aceh memang tak bisa dipisahkan dari sumber daya minyak dan gas. Kilang pertama dibangun sejak awal abad ke-20 oleh perusahaan asing, lalu diambil alih oleh pemerintah Indonesia melalui Pertamina.
Namun, meski menjadi daerah penghasil, Aceh hanya mendapat remah-remah dari keuntungan yang mengalir deras ke Jakarta.
“Sejak dulu, eksploitasi besar-besaran ini lebih menguntungkan pusat dibandingkan daerah. Padahal, konflik yang berkepanjangan di Aceh sebagian besar dipicu oleh ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya. Apakah kita mau mengulang sejarah yang sama?” tegasnya.
Perjuangan panjang masyarakat Aceh untuk memperoleh haknya akhirnya berbuah pada kesepakatan damai Helsinki 2005, yang melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) Nomor 11 Tahun 2006.
UU ini memberikan porsi lebih besar dari hasil migas untuk Aceh—70% untuk gas dan 55% untuk minyak. Namun, di lapangan, implementasi aturan ini jauh dari ideal.
“Kalau kita lihat secara kasat mata, pembagian keuntungan ini seolah menguntungkan Aceh. Tapi realitanya? Dana yang turun tak serta-merta menjadikan Aceh mandiri. Infrastruktur energi masih dikendalikan pusat, dan Aceh tetap tergantung pada dana transfer. Ini bukan kemandirian, ini ketergantungan yang dibuat sistematis!” ujarnya.
Amru juga mengkritik tumpang tindih regulasi yang justru merugikan Aceh. Ia menyoroti beberapa aturan seperti:
1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menempatkan kendali penuh pengelolaan migas di tangan pemerintah pusat.
2. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang semakin menguatkan peran pusat dalam perizinan eksplorasi sumber daya alam.
3. PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh, yang membentuk BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh), tetapi dalam praktiknya masih tunduk pada kebijakan pusat.
Menurutnya, regulasi ini membuat Aceh tetap terikat pada kebijakan energi nasional yang lebih berpihak pada kepentingan pusat dan perusahaan besar ketimbang kepentingan daerah.
“BPMA ini ada, tapi apakah benar-benar berdaulat? Jangan sampai ini hanya sekadar simbol yang dibuat agar Aceh merasa memiliki kendali, padahal keputusan akhir tetap di tangan pusat,” kritiknya.
Aceh Harus Punya Kendali Penuh
Amru menegaskan bahwa jika Aceh ingin benar-benar sejahtera, maka harus ada reformasi besar dalam pengelolaan sumber daya energi. Ia mengusulkan beberapa langkah konkret:
1. Kewenangan Penuh atas Migas
Aceh harus memiliki kendali penuh atas eksplorasi dan eksploitasi migasnya sendiri, bukan sekadar sebagai penerima hasil bagi.
2. Revisi Regulasi yang Tidak Adil
UU dan PP yang masih menghambat kemandirian Aceh dalam mengelola energi harus dievaluasi dan direvisi agar lebih berpihak pada daerah penghasil.
3. Pembangunan Infrastruktur Energi Daerah
Aceh harus punya kilang sendiri, jaringan distribusi sendiri, dan sistem energi mandiri agar tidak lagi bergantung pada pusat.
4. Transparansi dan Pengawasan Ketat
Pengelolaan migas Aceh harus diawasi ketat agar tidak jatuh ke tangan elite politik atau oligarki lokal yang hanya memanfaatkan kekayaan alam untuk kepentingan segelintir orang.
“Kita tidak bisa terus-menerus jadi penonton di tanah sendiri. Kalau Aceh ingin maju, kita harus mengambil alih kendali. Kalau tidak, kita hanya akan terus jadi sapi perah, sementara kesejahteraan tetap menjadi mimpi yang tak pernah terwujud,” pungkasnya.