JAKARTA – Hari ini, Rabu (23/02/2022), Konfederasi KASBI melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Jakarta dan beberapa daerah lainya seperti di Semarang, Surabaya, Gorontalo, dan Kaltim. Adapun yang menjadi tuntutan aksi KASBI adalah agar Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Segera Mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
“Bahwa pada tanggal 2 Februari 2022 Menteri Ketenagakerjaan Ibu Ida Fauziah telah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dan mencabut Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Peraturan itu merupakan peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua,” demikian siaran pers yang ditandatangani Ketua Umum Pengurus Pusat Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (PP KASBI) Nining Elitos dan Sekretaris Jenderal Sunarno, SH.
Terbitnya peraturan baru tersebut, lanjut Nining Elitos, kami nilai bakal menambah penderitaan dan kesengsaraan kaum buruh. Pemerintah seolah sedang menyeret buruh ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Hal ini tergambar jelas jika kita melihat pasal 2 Permenaker No 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa dana JHT dibayarkan kepada peserta jika mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Kemudian, pada Pasal 3 dikatakan, Manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a. diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun. Lalu, pada Pasal 4 dikatakan, manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun termasuk juga peserta yang berhenti bekerja meliputi peserta mengundurkan diri, peserta terkena pemutusan hubungan kerja, dan peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Besarnya iuran JHT adalah 5,7% dari upah yang di bayarkan, dengan rincian 3,7% di tanggung oleh pemberi kerja dan 2% di tanggung oleh buruh/pekerja. Dan disini jelas tidak ada satu sen pun uang Negara di dalam dana jaminan hari tua (JHT) tersebut.
“Bahwa dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 mengatur uang JHT yang sejatinya adalah hak milik buruh/pekerja tidak bisa diambil sebelum mencapai usia 56 Tahun, meskipun ada pengecualian dalam klausul dana JHT bisa diambil sebesar 10% untuk keperluan lain atau maksimal 30% untuk kebutuhan biaya perumahan, itupun setelah masa kepesertaan mencapai sepuluh tahun. Kaum buruh Indonesia wajib bercuriga lebih besar. Sebabnya, hingga saat ini, BPJS sebagai lembaga negara yang mengumpulkan duit kaum buruh Indonesia sendiri tak bisa berbuat banyak terhadap kondisi kaum buruh yang didera berbagai bencana struktur secara ekonomi dan politik di negara ini. Baik krisis, hingga pandemi. PHK massal yang kerap terjadi tidak pernah disentuh oleh dana sebesar Rp. 553,5 triliun. Ataupun JHT sebesar 387,45 triliun (tahun 2021),” ungkapnya.
Masih kata dia, angka PHK terjun bebas. Dan hingga detik ini, pengelolaan dana tersebut sama sekali tidak berimpak atau setidaknya menjadi stimulan yang dapat dilakukan dalam mengangkat kondisi kaum buruh dengan resep ekonomi menolong kaum buruh. Jika memang pemerintahan negeri ini tak mau dikatakan maunya berbisnis saja. Misalnya, dengan segala pengembangan dana kaum buruh lewat SUN, Reksadana, dan segudang investasi yang dijalankan menggunakan duit kaum buruh.
“Betapa telaknya Permenaker No.2/2022 saat ini, terbit bukan dalam kerangka membangun jalan ekonomi berbasis kemandirian. Namun lebih terbuka, dan vulgar hendak memakai dana kaum buruh Indonesia selama 39 tahun, terhitung sejak seseorang bekerja genap di umur 17 tahun. Dan baru boleh dicairkan di umur 56 tahun. Ini sebuah kejahatan hukum, ekonomi luar biasa. Di mana politik bisnis berkuasa di atas kepala pemerintahan republik Indonesia sendiri. Pengelolaan dana sebesar Rp. 387,45 triliun (JHT 2021) tidaklah menjamin perekonomian negara ini menyehat dan tak tersentuh virus baik krisis maupun korupsi. Dan apalagi kita bisa bayangkan akan ada dana ribuan triliun yang terkumpul dibelenggu Permenaker No. 2/2022 yang sama sekali tidak pantas terbit dan apalagi dilaksankan dianggap sebagai model tambal sulam, menenggelamkan JHT lalu menerbitkan JKP,” beber Nining Elitos.
Berapa dan dari mana sejumlah dana untuk menerbitkan JKP?
Menurut Nining Elitos, semua ini hanyalah akal-akalan penguasa yang terus membodohi rakyatnya. Kaum buruh yang terorganisir di dalam serikat-serikat buruh sudah seyogyanya mengoptimalkan pengetahuannya, dan mengamankan dana yang terkumpul. Bukan menyilahkan penguasa sembari menekan kaum buruh, sekaligus kepingin mengelola uang hasil keringat kaum buruh Indonesia dari JHT yang terkumpul tidak seberapa besar.
Menurut kami, sambung dia, pemerintah tidak boleh menahan uang milik buruh yang telah ter PHK sebegitu lama, tapi pemerintah justru harus mengatur agar dana JHT tersebut bisa diambil dan digunakan oleh para buruh/pekerja disaat buruh sedang dalam situasi sangat membutuhkan, yaitu pasca ter terjadinya PHK. Dalam hal ini sebenarnya Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 masih relefan untuk tetap diberlakukan.
“Bahwa pasca diterbitkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja dan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, nyaris tidak ada lagi harapan buruh/pekerja untuk menjadikan pesangon dan Jaminan Hari Tua sebagai tabungan untuk modal usaha. Karena telah terjadi perubahan hak pesangon dalam ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja. Misalnya dalam kasus buruh/pekerja di Putus Hubungan Kerja (PHK) setelah mendapat Surat Peringatan (SP 1,2,3) maka jika dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 berhak mendapatkan pesangon sebesar satu kali ketentuuan, berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang hanya mendapatkan 0,5 ketentuan, dengan kasus yang sama,” sebutnya.
“Dalam beberapa kesempatan, Kemnaker RI menyampaikan bahwa Pemerintah akan menjamin dan melindungi nasib kaum buruh, namun dengan adanya kebijakan Omnibus Law, PP 34-37 dan PERMENAKER tersebut justru semakin menekan dan memaksa kaum buruh untuk hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan,” jelas Nining.
Oleh karena itu Konfederasi KASBI melalui pernyataan sikap ini menyampaikan beberapa hal:
1. Menolak secara tegas Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 !
2. Menuntut Menteri Ketenagakerjaan RI, Ibu Ida Fauziah agar segera mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
3. Berlakukan Kembali Permenaker Nomor 19 Tahun 2015!
4. Menyerukan kepada anggota Konfederasi KASBI di seluruh Indonesia untuk terus-menerus menyuarakan penolakan sekeras-kerasnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
5. Menuntut Presiden RI untuk mencabut Undang-undang Cipta kerja dan PP Turunannya![*/Ari]