KARAWANG – Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik Mesin (LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat, Ir. M. Sidarta menegaskan akan mengerahkan kekuatan maksimal dalam aksi pada 26 Januari 2022 mendatang di Gedung DPR RI.
Adapun tuntutan dalam aksi tersebut, yakni batalkan UU Nomor 11 tentang Cipta Kerja, Tolak Revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang tata cara pembentukan perundang-undangan dan revisi keputusan gubenur tentang upah minimum yang berdasarkan PP 36 Tahun 2021.
Kepada media ini, Kamis (20/01/2022), saat melakukan konsolidasi di PUK FSP LEM SPSI PT GS Battery Kawasan Suryacipta Karawang, M. Sidarta mengatakan bahwa dirinya merupakan salah satu saksi fakta dalam sidang Mahkamah Kontitusi (MK).
“Itu kan sudah jelas bahwasanya Mahkamah Konstitusi, kebetulan saya ini adalah menjadi salah satu saksi fakta. Dimana keputusan MK sudah jelas bahwasanya Undang-Undang Cipta Kerja itu cacat formil bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar’45,” ujarnya.
Memang, lanjut dia, diktum 4 masih berlaku tapi berlaku itu diperbaiki makna sebenarnya. Bukan berlaku tanpa syarat, tapi syaratnya harus diperbaiki dulu.
“Diktum tujuhnya, itu kan tidak boleh mengeluarkan kebijakan baru yang sifatnya strategis dan berdampak luas. Nah klausul berdampak luas itu ada di PP 36 pasal 4 ayat 2, bahwa pengupahan itu termasuk program nasional strategis. Nah artinya, upah itu nggak boleh berdasarkan PP 36,” ungkapnya.
Masih kata dia, belum lagi upah, tambah PKWT, pesangon, PHK, PP 35, itu sudah seperti itu. Terakhir malah Mendagri mengeluarkan instruksi supaya membuat peraturan baru, mencabut yang tidak sesuai dengan Omnibus Law, kepada gubernur, bupati dan walikota.
“Itu malah offside lagi, mengecewakan lagi itu. Maksudnya, MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah perbaiki selama dua tahun. Dimulai dari awal, dibahas libatkan partisipasi publik dan sebagainya tapi mereka mengambil jalan pintas,” tukasnya.
Sambung dia, kalau istilah saya, orang supaya tidak dianggap melanggar rambu-rambu lalu lintas, rambu-rambunya dicabut karena ada pejabat yang mau lewat. Mestinya pejabat harus patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas mestinya seperti itu pejabat.
“Tapi nggak nyampe 2 tahun, cukup Undang-Undang 12 tahun 2009 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan itu yang direvisi cukup satu pasal. Bahwa UU nomor 12 sudah memuat metode Undang-Undang Omnibus Law. Selesai sudah! ” bebernya.
“Padahal bukan itu yang dimaksud MK, asasnya, mekanismenya, isinya dibahas dari ulang kan begitu, ingin cepet,” tandasnya.
Makanya, kata Sidarta, atas dasar itu maka harus kita kawal. Kalau tidak kita kawal dipastikan yang bekerja yang menerima upah pasti murah. Seperti hari ini tidak ada yang naik mayoritas, hanya yang naik sedikit yang di kota-kota, PHK akan sangat mudah, pesangon tinggal setengahnya, kontrak, outsourcing, PKWT akan semakin merajalela tanpa batas alias seumur hidup.
“Atas dasar itu harus kita kawal, kita akan demo tanggal 26 di DPR, dengan kekuatan maksimal. Kita minta DPR batalkan Omnibus Law, kemudian yang kedua batalkan rencana revisi Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” sebutnya.
Masih sambung dia, jadi tugas kita karena serikat pekerja ini adalah menjalankan amanah konstitusi yaitu Undang-Undang 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja, serikat buruh yang isinya serikat pekerja serikat buruh berdasarkan UU tersebut harus memperjuangkan, harus membela, harus melindungi hak dan kepentingan seluruh kaum buruh.
“Ini sengaja menggunakan aliansi serikat pekerja serikat buruh daerah. Karena untuk membuktikan bahwa yang berdampak langsung adalah daerah. Tentang PHK daerah, tentang pesangon daerah, tentang upah daerah. Tentu ini kita buktikan bahwasanya ini kemauan dari daerah. Kan elit menyebut, ah itu hanya elit-elit saja, tingkat nasional dan sebagainya, di daerah kan tidak ada masalah apalagi buruhnya, kan begitu,” terang Sidarta.
Dikatakannya juga, masalahnya kita buktikan, ini aspirasi dari anggota, dari daerah masing-masing. Makanya aliansi daerah, bukan FSP LEM saja tapi nanti ada dari KEP, RTMM, TSK ada LEM, ada serikat buruh lainnya dari daerah.
“Iya nanti ada lagi yang lain diluar SPSI. Yang lain ikut silahkan, kan ini aliansi daerah. Kalau yang Karawang terkenal karena ini adalah KBPP mau ikut silahkan, kita buka seluas-luasnya. Karena masalah Omnibus Law ini, masalah semua buruh yang berserikat, yang nggak berserikat. Yang berserikat benderanya apapun dampaknya pun akan sama. Kalau nggak berjuang sama-sama, maka akan punya dampak sama-sama,” ungkapnya.
“Jadi berawal disini dibutuhkan kesadaran. Kita usahakan perjuangkan maksimal, makanya kita tadi yang bisa ganti hari ya ganti hari. Yang enggak bisa ganti hari, ya silahkan laksanakan cuti yang penting maksimal kan gitu. Kita targetkan maksimal, bagaimana menjadi perhatian publik, bisa menjadi perhatian pemerintah, menjadi perhatian DPR. Kita akan sosialisasikan secara masif bukan hanya di darat tapi kita juga akan perjuangkan di media sosial,” tutup Sidarta yang juga sebagai Pangkornas DPP Bapor LEM ini.[Ari]