Banda Aceh – Pernyataan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, yang meminta masyarakat tetap santai menanggapi pemblokiran akun Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) di beberapa Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) mendapat kritik keras dari Kesatuan Aliansi Pemuda Peduli Rakyat Aceh (KAPPRA).
Jian Riyandi, ketua KAPPRA, dengan tegas mengecam respons Bustami yang dianggap meremehkan masalah serius ini. Minggu (19/05/2024).
“Rileks saja, semua ada aturan,” ucap Bustami singkat saat dimintai tanggapan terkait pemblokiran sejumlah akun SPSE pada Kamis, 16 Mei 2024.
Kritik dari KAPPRA tidak hanya terfokus pada pernyataan Bustami, namun juga menyoroti kinerja Asisten II Sekda Aceh, Ir. Mawardi, yang sebelumnya menyatakan bahwa kerusakan Website LPSE adalah kesalahan mutlak dari Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Aceh.
Mawardi mengakui bahwa kesalahan BPBJ telah menyebabkan terhambatnya realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) selama Website LPSE tidak aktif.
Para aktivis KAPPRA menilai pernyataan kedua pejabat ini sebagai bukti ketidakmampuan birokrasi dalam mengelola sistem digital yang sangat krusial bagi transparansi dan efektivitas pengadaan barang dan jasa.
“Ini bukan cuma soal error teknis, tapi juga masalah integritas dan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola anggaran publik.” kata Jian.
Mereka menegaskan bahwa kerusakan LPSE selama hampir dua minggu menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan manajemen risiko di BPBJ Aceh.
“Ini memalukan. Kami kecewa dengan pernyataan Pj Gubernur dan Mawardi yang terkesan menganggap remeh masalah ini. Dampaknya langsung terasa pada keterlambatan proyek-proyek pembangunan, termasuk persiapan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut yang tinggal 122 hari lagi.” Ucapnya.
Landasan Hukum dan Sanksi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya Pasal 9, pejabat pemerintahan wajib bertanggung jawab atas tindakan administrasi yang diambilnya.
Kesalahan dalam pengelolaan LPSE dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif yang serius.
Pasal 10 UU tersebut juga menyebutkan bahwa setiap pelanggaran administratif yang mengakibatkan kerugian bagi negara harus ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyelenggarakan sistem elektronik dengan andal dan aman serta bertanggung jawab atas keberlangsungan operasional sistem elektronik.
Kegagalan dalam pemeliharaan sistem yang menyebabkan kerugian pada pihak lain dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen Keamanan Informasi Layanan Publik Berbasis Elektronik juga mengatur bahwa penyelenggara layanan publik berbasis elektronik wajib memastikan sistem informasi tetap dapat diakses dan berfungsi dengan baik.
Pasal 17 peraturan tersebut mewajibkan penyelenggara untuk segera mengatasi dan memulihkan layanan jika terjadi kerusakan atau gangguan.
Kegagalan dalam memenuhi ketentuan ini dapat mengakibatkan sanksi administratif yang meliputi teguran, penghentian sementara layanan, hingga denda.
Jika terbukti Kepala BPBJ Aceh, Teuku Aznal Zahri, dan jajarannya bersalah dalam pengelolaan LPSE, mereka bisa dikenai sanksi administratif seperti pencopotan jabatan, denda, atau sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus yang lebih serius, jika ditemukan unsur kesengajaan atau korupsi, maka mereka bisa dijerat dengan hukuman pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tuntutan KAPPRA dan Realisasi APBA
KAPPRA mendesak dilakukan audit menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atau BPK Provinsi Aceh untuk memastikan tidak ada kecurangan atau korupsi selama periode error LPSE.
Mereka juga menuntut agar Kepala BPBJ Aceh segera dicopot dari jabatannya dan diganti dengan pejabat yang lebih kompeten untuk memastikan kelancaran realisasi APBA dan persiapan PON XXI.
Para aktivis juga menyoroti data realisasi fisik dan keuangan APBA 2024 yang masih jauh dari memadai.
“Dengan realisasi fisik 21,9% dan keuangan 19,5%, ini jelas menunjukkan kegagalan manajemen. Bulan Oktober sudah masuk tahun politik, dan Pj Gubernur Aceh dituntut sukses dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Provinsi Aceh.” Tegas Jian.
KAPPRA juga meminta diberikan akses untuk terus mengawasi jalannya pengadaan barang dan jasa di Aceh guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
“Kami akan terus mengawal, jangan sampai anggaran rakyat dihabiskan tanpa tanggung jawab!” tutup Jian Riyandi dengan pernyataan keras.