Sri Mulyani Ungkap Soal Utang RI yang Makin Bengkak
Jakarta, SIPNEWS.ID – Lonjakan utang tak bisa dihindari dalam dua tahun terakhir.
Pemerintah terpaksa mengambil opsi tersebut demi menyelamatkan ekonomi negara yang dimungkinkan hancur lebur.
“2020 kita lumpuh, pajak turun 18%. Belanja naik 15%, maka defisit di 6%. Apakah itu harus dilakukan, ya iyalah no choice,” ungkap Sri Mulyani saat berbincang dengan Gita Wirjawan dikutip, Jumat (10/12/2021)
Posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sebesar Rp 6.687,28 triliun. Utang ini setara dengan 39,69% Produk Domestik Bruto (PDB).
Ada tambahan setidaknya lebih dari Rp 1000 triliun dibandingkan dengan sebelum adanya pandemi covid-19.
Pandemi covid membawa aktivitas ekonomi berhenti.
Sehingga banyak masyarakat tidak memperoleh pendapatan, begitu juga negara. Uang yang dipakai pemerintah untuk membantu masyarakat terpaksa dari utang.
“Saat ada covid sektor usaha lumpuh, seperti pariwisata, perdagangan, akomodasi, hotel, manufaktur, transportasi semuanya.
Semua tau akan
bertumbangan, jadi APBN apakah karena penerimaan turun karena kan pajak gak ada atau diam saja atau step in masuk membantu. Negara memiliki APBN untuk hadapi situasi seperti itu,” paparnya.
Sri Mulyani menjelaskan, ada tiga fungsi APBN sebagai instrumen negara. Pertama adalah alokasi, kedua distribusi dan ketiga yaitu stabilisasi.
“Kalau ekonomi lagi guncang hancur kita harus angkat ke atas, ekonomi overheating kita harus ngademin. Itu namanya stabilisasi. Ini contoh (tahun lalu) ekonomi guncang hancur ke bawah,” paparnya.
Pemerintah bisa saja mengambil opsi seadanya, dengan tidak menambah utang. Akan tetapi risiko yang ditimbulkan adalah tidak ada bantuan di bidang kesehatan, dunia usaha dari yang kecil hingga besar termasuk bantuan sosial ke masyarakat yang membutuhkan.
“Jangan sampai kita kemudian supaya APBN kita selamat biarkan ekonomi menggelepar-gelepar dan dia tidak survive,” tegas Sri Mulyani.
Pemerintah mengambil opsi dengan menaikkan batas defisit anggaran yang tadinya 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun.
Maka dari itu defisit pada 2020 mencapai 6% dan tahun ini diperkirakan 5,1-5,3%. Pada 2021, seiring dengan pemulihan, defisit bisa diturunkan menjadi 4,7%. “Ini dengan asumsi harga komoditas bagus dan pemulihan kuat,” imbuhnya. (Sumber :Detik